Rahmah dan Dhani

Di sebuah mushola kecil yang terletak di halaman belakang rumah Pak Haji, aku duduk termenung dan sedih. Aku terus menerus melihat wajah seorang gadis polos yang tidur tersenyum. Bukan sekedar tidur, dia tidur untuk selamanya. Dari kejauhan terdengar alunan nada mobil ambulance. Rupanya Pak Haji telah datang bersama petugas ambulance untuk membawa gadis innocence ini pergi. Aku memegang tangannya yang dingin sama seperti udara malam ini. Rasanya air mata ini tak tertahan lagi. Air mata adalah hal yang menunjukkan suatu kelemahan hati. Aku tak mau terlihat lemah di saat seperti ini.

Pak Haji melepaskan tanganku dari gadis innocence itu dan membawanya pergi bersama petugas ambulance. Kerutan wajah Pak Haji menunjukkan lintasan kesedihan pada wajahnya. Aku hanya mengikuti Pak Haji dan petugas ambulance dari belakang. Aku berjalan sambil memegangi papan clipboard milik gadis innocence itu dan hanya ini benda kenanganku dengannya. Aku membuka lembar demi lembar kertas dan mengingatkan akan kenangan kami selama Ramadhan. Ini bukan kisah Romeo dan Juliet, ini kisahku dan adikku, Rahmah. Walaupun dia bukan adik kandungku, tapi aku sangat menyayanginya.

***

            DUAAAAAAAARRRRRRRRRR!!!!!!!!!!!

Semua warga keluar dari masjid dengan wajah yang sangat, sangat, sangaaaat kesal. Ini untuk yang ketiga kalinya suara petasan itu muncul dari arah atas pohon. Para warga keluar bersama Pak Haji yang sedang menjadi imam tarawih mereka. “Hey, Dhani! Turun dari atas pohon itu! Dasar anak kurang ajar!” kata seseorang dari kerumunan.

“Emang aku kurang di ajar! Habis, nggak sekolah sih!”, kata lelaki yang duduk di atas pohon dengan tas selempang yang melingkar di tubuhnya. Semua orang memanggilnya dengan sebutan nama Dhani. Dia mengambil sebuah buku tulis dari tasnya dan mencatat sesuatu. “Eksperimen nomor 10, ternyata kesabaran manusia hanya memiliki batas 3 kali. Kata orang, manusia memiliki kesabaran yang terbatas. Tapi, kesabaran yang terbatas itu hanya 3 kali”.

“Kurang ajar kamu, ya! Ngapain kamu nulis–nulis hal seperti itu! Yang salah kamu, kok! Mengganggu kami sholat!”, kata beberapa orang dari kerumunan.

Aku menatap mereka semua yang mencaci diriku. Salah satu dari mereka, ada Pak Haji yang dari tadi hanya diam dan menatapku tajam. Mungkin aku bisa menuliskan di bukuku, bahwa tidak semua orang memiliki batas kesabaran 3 kali. Aku belum yakin melihat tulisanku tentang tidak semua orang memiliki batas kesabaran 3 kali. Saat itu, aku melihat seorang gadis yang tampaknya berusia lebih muda dariku. Dia berdiri di samping kanan Pak Haji. Dia memeluk papan clipboard dan tersenyum kepadaku. Orang yang aneh?

“Turun, nak! Bapak sudah memberi kesempatan kamu 3 kali. Kamu sudah puas, kan?”, kata Pak Haji yang berpakaian serba putih.

Kesimpulanku, katanya puasa itu melatih kesabaran. Tapi kenapa para warga tak bisa melatih kesabaran? Kalau begitu tak perlu puasa untuk melatih kesabaran. Dan juga katanya, puasa itu harus menahan amarah kita. Tapi kenapa para warga tetap mengeluarkan amarah mereka dengan cacian terhadap ku? Berarti puasa itu tak ada gunanya. Eksperimen nomor 10 selesai.

Saat semua orang memulai untuk menyelesaikan beberapa rakaat dalam sholat tarawih, aku turun dari pohon. Karena eksperimenku sudah cukup, saatnya aku pulang untuk beristirahat. Beberapa saat kemudian, Pak Haji pulang dengan membawa gadis berjilbab yang tersenyum padaku sambil memeluk papan clipboard. Oh ya, aku belum memberi tahu pada kalian semua, bahwa sebenarnya aku ini anak angkat Pak Haji yang hidup sebatang kara. Entah kenapa, Beliau memperbolehkan aku melakukan eksperimenku untuk menuju jalan Allah.

Lagi-lagi gadis itu memeluk papan clipboard dengan wajah tersenyum. Saat aku bertanya pada Pak Haji, Beliau menjawab bahwa gadis itu bernama Rahmah, dan dia lah yang akan mengakhiri eksperimenku. Dengan begitu, aku bisa langsung menuju jalan Allah. Tidak bisa! Aku merasa Bapak alias Pak Haji itu menginginkan aku mendapatkan bantuan dari orang lain. Aku tak mau dibantu orang lain untuk memuaskan keingintahuanku terhadap tujuan manusia pada Allah. Apalagi dengan gadis yang umurnya 2 tahun lebih muda dariku. Aku kan malu! Sebenarnya apa sih hubungan si Rahmah ini dengan Bapak angkatku? Bapak bilang, Rahmah adalah anak angkatnya. Berarti aku akan tersingkir dong? Tidak bisa, pokoknya aku nggak akan pernah mau menemukan jawaban keingintahuanku dari orang lain.

Pak Haji meninggalkan aku berdua dengannya di ruang tamu. Aku kesal dengannya. Jadi, aku biarkan saja dia yang bicara lebih dulu untuk mencairkan suasana. Lima menit kami habiskan waktu di ruang tamu dengan keheningan dan senyumannya itu. Aku muak dengan keheningan ini. Aku benci keheningan. “Kenapa tak mau bicara? Oh, ya! aku tahu! Menurut eksperimen ku nomor 3, wanita itu suka bergosip. Jadi, mentang-mentang bulan puasa … kau berusaha agar tidak banyak bicara yang cenderung ke arah menggosip. Benar, kan?”

Gadis yang bernama Rahmah itu langsung menulis sesuatu di papan clipboarnya yang terdapat kertas-kertas yang terjepit. Lalu dia menunjukkan tulisannya padaku, ~KENAPA KAKAK JUGA TAK MAU BICARA? APA KAKAK TERMASUK ORANG YANG SUKA MENGGOSIP? RAHMAH MENYIMPULKAN INI, KARENA KAKAK LANGSUNG MENUDUH RAHMAH TUKANG GOSIP~

“Aku bukan tukang gosip! Lagipula apa alasanmu menggunakan papan clipboard untuk berkomunikasi? Maka dari itu, aku menyimpulkan kau itu adalah orang yang munafik. Yang berpuasa untuk tidak bergosip hanya selama Ramadhan”

Kemudian, Rahmah menuliskan sesuatu di papan clipboardnya lagi. Kali ini dia menuliskan ~MEMANGNYA KAKAK TAHU APA ARTINYA MUNAFIK?~

Aku terkejut melihat tulisannya itu. Aku menelan ludah karena tak sanggup untuk menjawab. Kenapa? Kenapa pertanyaanku mudah dipatahkan olehnya dalam waktu singkat? Padahal semua tetangga menjulukiku sebagai si pintar bicara. Karena aku bisa membuat pertanyaan yang membuat tenggorokan orang tercekik dan tak bisa menjawab. Aku benar-benar tidak tahu apa artinya? Aku hanya tahu kata itu dari sinetron saja. Ayolah, Dhani! Pikirkan baik-baik untuk membalikan pertanyaannya itu!. “Apa alasan mu memanggilku, kakak? Hah! Sok akrab!”

Rahmah menuliskan sesuatu di papan clipboardnya lagi. Kenapa dia tak mau bicara padaku? Biasanya hanya orang berilmu yang tak mau banyak bicara padaku. Apa jangan- jangan dia lebih berilmu dibanding diriku? Tidak mungkin! Dia hanya gadis kecil. Saat itu, Rahmah membalikkan papannya dan tulisannya berbunyi ~RAHMAH MEMANGGIL KAK DHANI DENGAN SEBUATAN KAKAK, KARENA KITA BERDUA SAMASAMA ANAK ANGKAT. KALAU KAKAK TAK BISA MENJAWAB PERTANYAAN RAHMAH, KAKAK TAK PERLU MEMBUAT PERTANYAAN YANG SUDAH KAKAK KETAHUI JAWABANNYA~.

Aku semakin gugup melihat tulisan dan senyumannya itu. Mungkin anak ini adalah orang gila. Tak mungkin dia masih bisa tersenyum pada diriku ini. Tiba-tiba saja, senyuman yang membuat aku gugup itu memudar dari wajahnya. Dia menuliskan sesuatu di papan clipboardnya lagi, lagi dan lagi. Membuatku heran, kenapa dia masih tak mau membuka suaranya? Membuatku ingin tahu. Membuat aku ingin tahu? Aku jadi ingin membuat halaman tentang dirinya di buku eksperimenku. Setelah selesai menulis, seperti yang lalu, dia memperlihatkannya. Kali ini tulisannya berbunyi ~MAAFKAN RAHMAH YA, KAK! RAHMAH TAK BERMAKSUD MEMBUAT KAKAK GUGUP tunggu? Dari mana dia tahu aku gugup? Lalu aku meneruskan membacanya SUDAH TAK PERLU KAKAK PIKIRKAN LAGI. SEKARANG RAHMAH INGIN PERGI KE KAMAR YANG AKAN RAHMAH TEMPATI. MALAM SUDAH LARUT, RAHMAH INGIN TIDUR. SELAMAT MALAM~ saat itu, dia bangkit dari kursinya. Aku jadi merasa tak enak. Saat dia ingin pergi, aku mencegahnya agar tidak meninggalkanku di ruang tamu. Karena aku tahu, dia ingin membuatku menjadi agak santai dan nyaman. “Kenapa kamu berpuasa?”, tanyaku spontan.

Dia terhenti dan menuliskan sesuatu lagi. Lalu memperlihatkan tulisannya itu padaku. ~KARENA RAHMAH INGIN MENDAPATKAN CINTA ALLAH~. Cinta Allah? Dia pasti berbohong! Menurut eksperimenku nomor 1, para warga di sini berpuasa hanya untuk mendapatkan pahala dari Allah. Jawabannya berbeda dengan para warga yang banyak aku tanyakan. “Kenapa kau mengharapkan cinta Allah? Menurut pengamatanku terhadap anak-anak cewek seusiamu itu, mereka lebih mementingkan cowok dari apapun bahkan otaknya pun berisi cowok. Intinya lebih mengharapkan cinta dari manusia lain”

Dia menulis sesuatu lagi. Yang sudah biasa kulihat bila aku berbicara dengannya. ~RAHMAH TAK MAU DAN TAK AKAN PERNAH MENGHARAPKAN KASIH SAYANG MAUPUN CINTA YANG BERSIFAT SEMENTARA. RAHMAH HANYA INGIN MENDAPATKAN CINTA YANG ABADI. DAN CINTA MAUPUN KASIH SAYANG YANG ABADI ITU DATANG DARI ALLAH~ Aku terkejut mendengar hal itu. Mungkin saat dia menuliskan segala sesuatu di papan clipboard yang dia gunakan untuk berkomunikasi padaku, tak ada suara yang terdengar oleh telingaku. Tapi tulisannya itu bagaikan suara yang sampai ke hatiku. Suara yang tak terdengar tapi menggetarkan hati. Membuat keingintahuanku menciut. Dia memiliki jawaban yang berbeda dengan manusia lain yang pernah kutanyakan, kecuali Pak Haji dan dia.

Aku heran, kenapa dia tak mau mengharapkan kasih sayang maupun cinta dari manusia lain? Allah menciptakan manusia di bumi untuk mencintai sesama manusia bahkan sesama mahkluk lain di bumi ini. Aku semakin ingin membuat eksperimen tentang dirinya. Dia langsung pergi dengan cepat. Dia tahu, aku akan bertanya lagi padanya. Benar-benar orang yang berbeda. Aku jadi tertarik untuk mengetahui dirinya lebih banyak.

Saat sahur, entah apa yang menggerakkan badanku untuk ikut serta sahur. Di minggu pertama Ramadhan, ini lah pertama kalinya aku berniat sekali untuk berpuasa. Sudah 6 hari aku tak berpuasa. Mungkin karena kata-kata Rahmah tentang cinta Allah. Aku jadi ingin berlomba-lomba dengan semua orang di dunia ini untuk mendapatkan cinta-NYA. Lagipula berlomba-lomba dalam kebaikan itu kan baik.

Pak Haji terkagum-kagum melihat diriku yang sedang menyantap sahur. Mungkin ini saatnya aku menghentikan eksperimenku. Dan memulai untuk merasakan puasa yang dibilang oleh anak muda di gang sebelah sebagai trend Ramadhan. Di meja makan, kami bertiga menyantap sahur dalam keheningan. Rasanya, aku ingin mengambil persediaan petasanku dan menghidupkannya di tengah meja makan. Aku benci keheningan.

Suatu hari, aku mulai bosan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Mungkin benar menurut ekperimenku nomor 5, puasa adalah ibadah terberat yang pernah di jalani oleh para warga. Tiba-tiba saja, Rahmah meminta izin padaku untuk membersihkan kamarku yang super jorok itu. Bahkan Pak Haji bilang, kandang ayam masih lebih bersih daripada kamarku. Rahmah beralasan, dia ingin memberi sebagian keimanan untuk aku dengan kamar yang bersih. Apa maksudnya itu? Apa itu maksud dari kebersihan sebagian dari iman? Setelah dia selesai, aku penasaran apa yang telah dia perbuat terhadap kamarku itu. Aku terkejut melihat kamarku.

Dimana poster-poster band luar negeri kesukaanku? Padahal poster itu susah payah aku dapatkan! Jangan-jangan dibuang di tong sampah! Tidaaaaaaaaak! Sekarang di dinding kamarku, hanya ada poster-poster tata cara sholat, poster untuk mengenali huruf Tajwid dalam Al-Qur’an dengan benar. Dan slogan-slogan yang dibuat sendiri oleh Rahmah. Slogan-slogan itu benar-benar mengerikan. Slogan-slogan itu berisi tentang hari kiamat bila aku tak mentaati semua perintah Allah. Aku benar-benar takut. Yang paling aku kesal adalah saat ku ingin melepaskan slogan-slogan itu dari dinding kamar, ternyata slogan itu tak bisa dilepas. Di bawah slogan, ada tulisan kecil berupa notebook yang bertuliskan bahwa hanya Rahmah saja yang bisa melepaskan slogan-slogan itu.

Aaaaah! Aku jadi takut sendiri melihat dinding-dinding kamar yang dulunya kusukai, saat masih ada posternya. Mungkin slogan itu tak bisa dibilang slogan. Karena banyak sekali. Satu hal lagi yang bikin aku kesal. Lemari kecil untuk menyimpan kasetku, berubah dan berisi buku-buku tentang ilmu agama mengenai Tauhid, Fiqih, kaidah-kaidah dalam Islam, kisah-kisah para Rasul Allah dan lain-lain. Seharusnya lemari kecil itu adalah tempat penyimpanan kaset-kaset yang aku sukai! Sekarang ada dimana kaset-kasetku itu? Aku cepat-cepat keluar dari kamar dan mencari Rahmah. Apa ini maksudnya memberi sebagian keimanan untukku dengan kamar yang bersih?

Saat aku menemukannya, dia sedang menyiram tanaman dengan wajah tersenyum di bawah sinar matahari. Dia menoleh dan melihat aku berjalan ke arahnya dengan penuh amarah. Dia tersenyum melihat aku yang datang padanya. Sebelum aku mulai memarahinya, dia memperlihatkan papan clipboardnya. ~MENURUT EKSPERIMEN NOMOR 10, BATAS KESABARAN MANUSIA HANYA 3 KALI. TAPI MENURUT RAHMAH, BATAS KESABARAN KAKAK HANYA 1 KALI~. Aku terkejut melihat tulisan di papan clipboardnya itu. Kalimat itu ada di buku eksperimenku. Tidak sopan melihat buku orang. Memang sih itu bukan buku diari, tapi…tapi…uuuuhh! Aku sebal dengannya. Tapi aku malah malu sendiri. Ternyata aku lebih buruk daripada para warga yang aku jadikan bahan eksperimen.

Kemudian Rahmah menuliskan hal yang lain di papan clipboardnya yang bertuliskan ~YANG SABAR YA, KAK! UNTUK MENJALANI PUASA INI. MAAF RAHMAH TELAH MEMBACA BUKU EKSPERIMEN KAKAK. TAPI BUKU ITU HANYA BERDASARKAN PEMIKIRAN KAKAK SAJA KAN? ISI BUKU ITU LUCU SEKALI~. Setelah aku membaca tulisan itu, aku melihat Rahmah yang menutupi bibirnya dengan papan clipboardnya. Mungkin dia tertawa? Haaaa…dia memang orang aneh tapi hanya dia yang bisa membuat rasa ingin tahuku semakin menciut dan kadang meningkat. Mungkin ini saatnya bereksperimen dengan berbagi ilmu bersama orang lain.

Hari-hari Ramadhan kulewati bersama Pak Haji dan Rahmah. Ya, aku mulai terbiasa dengannya. Teringat dengan buku eksperimen, aku benar-benar telah menyisikan halaman untuk eksperimenku terhadap Rahmah. Dia pasti berbohong mengenai dirinya yang tak pernah mengharapkan cinta dari manusia lain. Lihat saja! Aku akan buktikan pernyataannya itu salah. Aku akan mencari tahu, apa yang membuatnya istimewa selain diriku di mata Pak Haji.

Eksperimen nomor 1 bab Rahmah, kenapa dia berkomunikasi menggunakan papan clipboard? Untuk menjawab pertanyaanku itu, langsung saja aku bertanya padanya. Dia hanya tersenyum padaku dan tidak menjawab. Sok jual mahal banget sih. Dasar wanita. Pak Haji berkata padaku, seorang wanita memang harus jual mahal. Karena mereka mempunyai perhiasan yang harus mereka jaga dari mata pria, yaitu aurat mereka. Oke, dugaan pertama untuk eksperimen nomor 1 bab Rahmah adalah kemungkinan dia jual mahal di depan semua orang. Mungkin dia ingin memperdengarkan suaranya hanya pada suaminya kelak.

Ternyata memang sangat membosankan untuk tinggal di rumah sendirian. Rahmah pergi ke tempat mobil perpustakaan keliling yang sedang berkunjung ke alun-alun, sementara Pak Haji mendapat tawaran berdakwah sana-sini. Dan aku hanya diam di rumah sambil memperhatikan  anak-anak lain berseragam sekolah putih  abu-abu. Iri? Jelas aku iri. Tapi ini lah resiko yang aku tanggung karena telah menolak tawaran Pak Haji untuk menyekolahkan aku. Daripada bosan dan berpikiran yang tidak-tidak, aku mampir ke pos gang sebelah dengan ditemani tas selempang kesayanganku. Ya, pos gang sebelah adalah tempatnya anak-anak bertingkah laku preman dan brandal. Pak Haji melarang aku untuk ke sana, tapi peraturan memang dibuat untuk dilanggar. Jadi, aku sering pergi ke sana untuk ngobrol. Terlihat disana, anak-anak yang sudah tidak sanggup untuk menjalani puasa. Istilah puasa bagi mereka adalah Trend Ramadhan.

“Hoy, Dhani! Jarang sekali hidung elu terlihat disini. Kita rindu ama elu!” sapa seorang lelaki yang lebih tua. Yang diduga sebagai bos di pos ini. Panggilannya BP (singkatan dari bos pos. Di baca : Bepe)

“Assalammu’alaikum, Bep!”

“Sudahlah. Jangan pakai kata sandi itu! Kata itu dikatakan saat ada orang – orang yang lewat di depan pos kita saja”, kata Bepe. Benar-benar orang bermuka dua. Di depan orang bersifat seperti kucing tapi kalau di belakang, bersifat seperti harimau. Pantas saja pos ini tak digusur oleh warga. Aneh, hanya Pak Haji dan aku yang mengetahui hal ini. Kata Pak Haji, selama mereka tak berbuat macam-macam, kita pun tidak akan berbuat apa-apa terhadap mereka.

“Ada seorang gadis….”

“Jadi elu mau konsultasi cinta?”, potong Bepe. Benar-benar tidak sopan.

“Bukan. Dia cuma tidak mau berbicara padaku, mungkin hanya di bulan ramadhan ini”, jelasku.

“Mungkin dia sedang melakukan puasa ngomong”, sahut salah seorang anak buah Bepe.

“puasa ngomong?”

“Anak Pak Haji kok nggak tahu hal itu sih? Kita sering melakukan hal itu sebagai taruhan, dan kita tahu itu dari seseorang yang tak mau bicara pada kita”, jawab Bepe.

“Oh, begitu! Terima kasih. Aku mau pulang dulu”

“Elu kaga’ mau minum dulu?”, tanya Bepe yang memegang botol yang terlihat seperti minuman beralkohol.

Minum? Benar-benar mereka menganggap bulan suci Ramadhan itu sebagai trend belaka. Sungguh menyebalkan. Bulan suci Allah dipermainkan seperti ini. Sabar, Dhani! Ingat eksperimen nomor 10-mu. Bagaimana ya cara menasihati mereka? Ya, Allah! Aku telah melihat kemunkaran. Tidak mungkin, aku menggunakan fisik untuk melawannya. Atau menggunakan kata-kata yang penuh amarah untuk melawannya. Semoga hatiku sanggup melawan kemunkaran itu. “Terima kasih atas tawarannya. Aku masih menjalankan trend Ramadhan. Maaf, ya! Aku nggak mau ketinggalan trend saat ini”, singkatku dan berbalik pergi meninggalkan mereka. Apa segitu cukup untuk melawan kemunkaran? Ah, yang penting aku harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini.

BRUUUKK!!

Ah, sakit. Kurang ajar! Beraninya melawan dari belakang. Apa itu pria sejati? Memukul orang dari belakang. Rasanya aku ingin membalasnya! Sabar, sabar!. Aku melihat jam tanganku, jam menunjukkan angka setengah tiga. Tanggung sekali untuk membatalkan puasaku begitu saja. Aku yang masih terkapar di tanah, melihat ke arah mereka. Ternyata mereka sedang menertawakanku. Aku berdo’a di dalam hatiku “Hey, malaikat Atid! Kau lihat mereka kan? Rekam keburukkan mereka! Dan beritahukan kepada Allah untuk membukakan pintu hati mereka. Amin”. Aku bangkit dan pergi meninggalkan mereka. Aku tidak lari. Karena kalau aku lari, aku benar-benar terlihat seperti seorang pengecut. Aku berjalan membalikkan tubuh tanpa menoleh ke arah mereka lagi. Aku berjalan santai dan tetap stay cool seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Sepanjang perjalanan, aku mengambil buku eksperimen ku dan memulai menuangkan pemikiranku.

  • Eksperimen nomor 1 bab Rahmah, dugaan kedua adalah dia sedang melakukan puasa ngomong selama Ramadhan. Eksperimen nomor 1 bab Rahmah berlanjut.
  • Eksperimen nomor 11, katanya sholat menghindarkan kita dari sifat keji dan munkar. Tapi kenapa masih ada aja orang yang bersifat seperti itu walaupun mereka sholat. Catatan khusus: itu terjadi bukan hanya pada Bepe and the gank. Apa kita tidak perlu sholat untuk menghindarkan diri kita dari sifat itu? Eksperimen nomor 11 berlanjut.

Saat melanjutkan perjalanan dengan pemikiran-pemikiranku dan buku eksperimen, aku melihat sosok gadis dengan jilbab putih dan senyuman yang sudah sering kulihat. Siapa? Tentu saja Rahmah. Aku melihatnya menghampiriku dengan senyumannya. Aku berhenti melangkah, tentu saja untuk menunggunya menghampiriku. Saat dia di hadapan aku, dia mulai menuliskan sesuatu di papan clipboard yang selalu dibawanya. Ya, aku sudah terbiasa melihat hal itu. Dia pun membalikkan papannya dan tulisan itu berbunyi ~KAK DHANI MASIH MENGGUNAKAN BUKU EKSPERIMEN ITU, YA? LEBIH BAIK KAKAK IKUT AKU KE SUATU TEMPAT YANG BISA MENJAWAB EKSPERIMEN PEMIKIRAN KAKAK ITU~. Aku hanya terdiam dan melihat wajahnya yang tersenyum padaku. “Dimana tempat itu?”

Rahmah menunjuk ke arah mobil perpustakaan keliling. Ah, aku mengerti maksudnya. Aku membaca? Aku malas sekali membaca. Aku lebih baik mendengarkan orang berceramah dibanding aku membaca. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Aku mau tahu tanggapannya terhadap jawabanku. Dan ternyata dia mulai menuliskan sesuatu lagi. ~PASTINYA KAKAK INGIN MEMUASKAN RASA KEINGINTAHUAN KAKAK TANPA BANTUAN ORANG LAIN KAN? SEKARANG SAATNYA MENCARI TAHU SENDIRI DENGAN MEMBACA~. Aku tercengang melihat tulisannya. Dia seperti pernah membaca isi hatiku. Memang itu prinsip aku, tapi masalahnya adalah membaca. Hal yang tak pernah aku lakukan. Rahmah memberiku isyarat untuk mengikutinya. Senyumannya itu yang membuat hatiku tergerak dan memasukkan buku eksperimenku, kemudian mengikutinya. Rahmah, kau nggak tahu kalau buku ini juga tentang kamu. Eksperimen nomor 2 bab Rahmah, kenapa dia selalu tersenyum? Dugaan pertama, senyuman itu membangun kesan ramah. Dugaan kedua, Rahmah ingin menambah pahalanya hanya dengan senyuman. Karena senyum adalah ibadah. Eksperimen nomor 2 bab rahmah selesai. Tentu saja, aku tak akan berhenti bereksperimen tentang mu, Rahmah.

Kami menghabiskan Ramadhan ini bertiga. Aku, Rahmah dan Pak Haji. 10 malam terakhir, kami bertiga menghabiskan waktu di mushola kecil Pak Haji untuk berikhtikaf. Kami begadang setiap malam ganjil untuk menjemput malam Lailatul Qadar. Semoga saja kami bertiga mendapatkan malam yang lebih baik dari 1000 bulan itu. Aku menyayangi Rahmah seperti adik kandung, seperti halnya Pak Haji menyayanginya seperti anak kandung. Kami benar-benar menyayanginya. Tapi Rahmah? Aku dan Pak Haji tak pernah mengusik tentang “kasih sayang fana”, itu di depannya. Karena eksperimenku tentangnya mulai terjawab sekarang.

  • Eksperimen 0 alias tidak bernomor (tujuan awal eksperimen) bab Rahmah, kenapa Rahmah tidak mengharapkan kasih sayang atau cinta dari manusia lain? Rahmah adalah anak yang di buang oleh orang tua yang tak mengharapkan kehadirannya. Mungkin itu alasannya untuk tidak mengharapkan cinta dari manusia.
  • Eksperimen nomor 1 bab Rahmah, kenapa Rahmah berkomunikasi menggunakan papan clipboard? Karena selama ini dia bisu, sesuai informasi dari Pak Haji setelah sekian hari. Catatan khusus: bukankah seorang yang bisu itu berawal dari tuli? Tapi kenapa aku dan Pak Haji masih bisa berkomunikasi dengan Rahmah tanpa menggunakan bahasa isyarat? Berarti dia bisa mendengarkan kami kan? Jawabannya adalah pada umur 8 tahun, Rahmah di beri mukjizat oleh Allah. Mukjizat itu berupa pendengaran. Walaupun dapat mendengar, dia masih belum bisa mengeluarkan suaranya. Tapi dia bersyukur dapat mendengar. Mungkin karena itu Rahmah sangat menginginkan cinta abadi yang datangnya dari Allah. Mengejutkan bukan?

 

Belakangan ini, wajah Rahmah pucat. Aku benar-benar memperhatikannya semenjak aku membuat eksperimen tentang dirinya. Mungkin karena setelah begadang  malam-malam ganjil kemarin ini, wajahnya menjadi pucat. Pada malam ke 29, saat kami mengaji (Rahmah mengaji dalam hati), Rahmah terjatuh dari posisi duduknya. Mungkin dia ngantuk? Tentu saja. Aku rasanya ingin tidur. Aku dan Pak Haji hanya membiarkannya tidur. Kasihan bila dibangunkan. Aku melihatnya tidur. Cantik sekali. Rasanya aku ingin melindunginya dan menjaganya setiap saat. Aneh, dia tertidur sambil tersenyum.

Aduh, jadi nggak konsen ngaji nih! Waktu berlalu begitu cepat, tidak menyangka waktu sahur telah tiba. Aku dan Pak Haji pun beranjak dari mushola untuk menyiapkan hidangan sahur. Biasanya, Rahmah yang selalu menyediakannya untuk kami. Walaupun ada waktu giliran untuk menyediakan santapan sahur. Sementara Pak Haji pergi, aku iseng-iseng mengintip tulisan-tulisan pada kertas-kertas terjepit di papan clipboard. Aku membaca kertas pertama. Kalimat-kalimat yang tidak aku ketahui. Sampai pada kertas kelima, aku melihat kalimat pertama kali ketika aku ngobrol dengan Rahmah. Jadi terkenang pada minggu pertama bulan Ramadhan. Dimana aku belum pernah puasa sekali pun. Aku hanya tertawa membayangkannya. Sesekali aku memandangi wajah Rahmah yang tidur sambil tersenyum. Aku pun teringat pada Pak Haji yang sedang bertarung di dapur untuk menyediakan santapan sahur. Aku pun beranjak pergi meninggalkan Rahmah yang masih tertidur dan langsung menolong Pak Haji di dapur.

Sementara aku meletakkan makanan di meja makan, Pak Haji pergi ke mushola kecil di belakang halaman rumah untuk membangunkan Rahmah. Tiba-tiba saja Pak Haji kembali dan berkata bahwa Rahmah telah tiada. Aku hanya diam. Pak Haji pun menghubungi dokter. Apa itu maksudnya tiada adalah arwah Rahmah yang telah tiada?

***

Bau obat menghentikan bayangan terhadap kenanganku dengan Rahmah. Sekarang aku di sebuah kursi rumah sakit. Yang ada di tanganku hanya sebuah clipboard milik Rahmah. Tulisan di papan clipboard itu mengingatkan aku dengan percakapan kami saat pertama kali bertemu sampai percakapan kami selama sebulan Ramadhan. Aku melihat halaman terakhir lembaran kertas yang terjepit di papan clipboard. Tulisan itu berisi ~TERIMA KASIH ATAS KASIH SAYANG KAKAK DAN BAPAK. RAHMAH BISA MERASAKANNYA, KASIH SAYANG SEMENTARA DARI MANUSIA~. Dengan begini, aku tambah sedih membayangkan ketiadaannya. Dia datang dan pergi dari kehidupanku di bulan Ramadhan. Satu hal lagi, slogan di kamarku tak ada yang bisa melepaskannya kecuali Rahmah. Aaaaaahhhh! Tidaaaaaaaaaak! Tapi mungkin tulisan slogan-slogan itu akan menjadi kenangan darinya. Dan mungkin juga, Allah mengirimkan Rahmah dalam kehidupanku untuk menunjukan jalanku menuju Allah.

Aku terduduk sedih seraya bergumam, “Rahmah, bila kau memang sudah tiada, tapi kau akan selalu ada di hati kakak. Sama seperti bulan Ramadhan ini. Tidak menyangka, bulan Ramadhan ini menjadi sebuah pertemuan dan perpisahan kita. Mungkin Allah sangat menyayangi mu sampai dia mengambil mu dari kakak dan Bapak. Kakak berharap kau berhasil mendapatkan cinta abadi dari-NYA. Kakak juga nggak akan kalah dari mu, kakak akan berusaha mendapatkan cinta-NYA juga”.

Pak Haji menghampiri aku dengan raut muka yang sama denganku. Dia pun duduk di sampingku dan berkata, “Apa rasa keingintahuanmu sudah terpenuhi atau terjawab, nak?”. Mendengar itu, aku jadi tambah sedih. Teringat akan eksperimenku yang sudah terjawab semua. Aku tak bisa berkata-kata dan tak bisa menahan air mata ini. Aku hanya mengangguk dan tak berani menatap wajah Pak Haji. Tiba-tiba Pak Haji berbisik pada ku, “Allah menciptakan air mata tentu ada gunanya kan?”. Setelah berkata seperti itu, Pak Haji berdiri dan menutupi diriku yang duduk di kursi. Sungguh, baru pertama kalinya aku memperlihatkan kelemahan hati pada orang lain selain Allah. Pak Haji sungguh baik telah berdiri membelakangiku, pura – pura tidak tahu apa yang aku lakukan.

 

~Rahmah, adikku yang mencintai Allah melebihi diriku. Aku akan mengingatmu dalam hati bukan dalam pikiran, aku akan mengenangmu dengan do’a bukan dengan air mata, aku akan merindukan suaramu yang terdengar di hatiku bukan di telingaku. Selamat jalan Rahmah adikku, selamat jalan bulan Ramadhan~.

Setelah menorehkan tulisanku pada papan clipboard Rahmah, aku pun mengusapkan air mata ini. Tentu awal yang berat bagiku. Suara gemuruh adzan shubuh sudah bergaung. Hari terakhir Ramadhan dan hari terakhir aku melihat Rahmah yang belum terselimuti tanah. Aku pun berdiri dan melihat wajah Pak Haji yang mengisyaratkanku untuk sholat. Sekilas aku melihat senyuman Rahmah di sampingku. Senyuman yang menggetarkanku dan senyuman yang selama ini menyiutkan rasa keingintahuanku. Di kejauhan sana  gema takbir berkumandang,

ALLAHU AKBAR….ALLAHU AKBAR…..ALLAHU AKBAR

WA LILLAH ILHAM….